Pada
suatu hari di suatu perkampungan kumuh. Hiduplah satu kepala keluarga pemulung
yang beranggotan empat orang. Sebut saja namanya Sabar. Seorang pemulung yang
hidup dan tinggal di pinggiran kota metropolitan.
Sabar
sendiri mempunyai satu orang Istri dan dua orang anak. Sebut saja ke dua
anaknya Ikhal dan Juju. Ke dua anak Sabar berhenti bersekolah sejak SD, karena
terkendala biaya. Tak jarang, ke dua anaknya tersebut membantu Sabar untuk
memulung botol-botol bekas. Tak jarang mereka juga mengais sisa-sisa makanan
yang ada untuk mengganjal perut mereka saat lelah menyusuri tiap-tiap gang di
perkotaan. Sedangkan Istrinya berprofesi sebagai buruh cuci. Berangkat pagi,
dan pulang sore hari merupakan rutinitas keluarga Sabar. Kumpul keluarga hanya
pas malam hari saja untuk mengisahkan hal-hal yang mereka alami pada saat
bekeja.
Seperti
namanya, Sabar merupakan tipe orang yang Sabar dalam segala hal yang terjadi di
dalam hidupnya. Tetapi, yang paling Sabar tak mampu adalah saat kedua anaknya
ingin baju dan sepeda baru.
“Pak,
baju Juju kekecilan.”
“Iya,
nak. Yang Sabar ya Bapak juga lagi ngusahain buat adek.” Jawab Sabar.
“Pak,
Ikhal lapar.”
“Oh
Ikhal lapar. Sabar ya nak, kita nanti singgah di warteg dekat-dekat sini.”
Pada
saat perjalanan mereka menuju warteg. Seperti biasa Sabar mengajarkan
anak-anaknya untuk senantiasa bersyukur menerima segala yang sudah digariskan
oleh Allah.
“Sudah
sampai nak. Ajak adekmu pesan makanan sana.”
“Bapak
gak pesan makanan?” Tanya Ikhal padanya.
“Bapak
masih kenyang, nak. Kalian aja dulu.”
“Baiklah
Pak, Ikhal sama Juju pesan makanan dulu. Bapak di sini aja ya.”
“Iya
nak.” (sambil meletakkan karung yang berisi barang-barang bekas hasil
mulungnya)
Sabar
menahan rasa laparnya demi ke dua anaknya. Karena uang Sabar tidak cukup untuk
bertiga. Sabar sudah terbiasa dengan kata “berpuasa” untuk menghemat pengeluaran
guna kebutuhan sehari-hari. Tak jarang dalam seminggu lima kali Sabar berpuasa
kala pendapatan mulungnya tidak seberapa. Dia selalu menanamkan sifat legowo di
dalam hatinya.
Pada
saat Sabar baru duduk di warteg tersebut. Terdengar tangisan dan teriakan
anak-anak.
“Aaaaggh,
ampun Tante..ampunn” Teriak anak tersebut
Karena
suara tersebut seperti sudah tidak asing di telinga Sabar. Sontak saja Sabar
bergegas menghampiri sumber suara tersebut. Ya, benar saja. Sumber suara
tersebut merupakan tangisan dan teriakan ke dua anaknya yang sedang dijewer
telinga oleh pemilik warteg tersebut.
“Ada
apa ini, Bu? Kenapa anak saya dijewer?
“Anak
Bapak…
Bersambung…
*Note:
Mohon maaf, apabila ada kesamaan nama, tempat, dan alur cerita merupakan
ketidaksengajaan.
Comments
Post a Comment
Budayakan membaca terlebih dahulu sebelum berkomentar, kritik dan saran sangat penting bagi author dalam mengenbangkan blog ini :)))